Jumat, 26 Maret 2021

COACHING MODEL TIRTa MENUNTUN MURID MENGGALI POTENSI DIRI DAN SOLUSI

Pendidikan adalah tuntunan segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Hal tersebut diungkapkan oleh Bapak Pendidikan Republik Indonesia yaitu Bapak Ki Hajar Dewantara.

Gambar 1. Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara

Hal ini yang  mendasari filosofis "Merdeka Belajar". Beragam upaya hendaknya dilakukan oleh seorang pendidik untuk dapat menuntun segala kekuatan kodrat yang dimiliki oleh peserta didik, baik kekuatan kodratnya yang berupa bakat, kompetensi akademis, kompetensi sosial emosional, berbagai keterampilan hidup yang dibutuhkan dalam abad 21 seperti kolaborasi, komunikasi, kreatif, dan berpikir kritis, sehingga terbentuk kemandirian dan kedewasaan menghadapi permasalahan dan mampu menyelesaikan atau menemukan solusi dari setiap permasalahan yang dihadapinya dengan sikap positif.

Menuntun kompetensi akademis peserta didik yang menunjang merdeka belajar dapat diterapkan melalui pembelajaran berdiferensiasi untuk dapat mengakomodir berbagai gaya belajar dan kebutuhan peserta didik serta melatih keterampilannya abad 21.Hal ini telah saya kemukakan pada artikel sebelumnya. pada link berikut:

http://euisnovi.blogspot.com/2021/02/mengimplemantasikan-merdeka-belajar.html

Menuntun kompetensi sosial emosional  peserta didik yang menunjang merdeka belajar dapat diterapkan melalui pembelajaran sosial dan emosional  uagar dapat sukses melalui pengalaman-pengalaman interaksi dengan gurunya, teman-temannya, maupun sekolahnya. Apa manfaatnya dan bagaimana cara melaksanakannya telah saya kemukakan pada artikel sebelumnya. pada link berikut:

http://euisnovi.blogspot.com/2021/03/pembelajaran-sosial-dan-emosional.html

Lalu bagaimana untuk melatih kemandirian dan kedewasaan menghadapi permasalahan dan mampu menyelesaikan atau menemukan solusi dari setiap permasalahan yang dihadapinya dengan sikap positif?

Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui Coaching Model TIRTa. Berdasarkan definisi para ahli Pramudianto (2020) makna Coaching sebagai berikut:

Gambar 2. 3 Makna Coaching

Coaching menjadi salah satu proses ‘menuntun’ kemerdekaan belajar murid dalam pembelajaran di sekolah bukan menggurui.


Gambar 3 & 4. Proses Coaching, kolaborasi Coach (guru) dengan Coachee (murid)

Proses coaching merupakan proses untuk mengaktivasi kerja otak murid. Pertanyaan-pertanyaan reflektif yaitu pertanyaan yang membuat lebih berpikir, pertanyaan yang lebih membukakan, dan menggali potensi peserta didik dapat membuat murid melakukan metakognisi (bagaimana murid memahami proses berpikirnya). Selain itu, pertanyaan-pertanyaan dalam proses coaching juga membuat murid lebih berpikir secara kritis dan mendalam. Yang akhirnya, murid dapat menemukan potensi dan mengembangkannya.

Komunikasi dalam coaching merupakan komunikasi yang memberdayakan yaitu komunikasi yang dapat mengesplorasi kemampuan coachee dalam menemukan solusi atau menentukan langkah-langkah berikutnya melalui pertanyaan-pertanyaan reflektif yang diberikan oleh coach setelah mendengarkan dengan seksama permasalahan yang disampaikan oleh coachee. 

Coaching dapat dilakukan kapan pun saat seorang guru sebagai coach dalam keadaan siap, dapat mendengarkan dengan baik atau sepenuhnya dan memberikan perhatian (fokus). Coaching tidak hanya dilakukan saat ada masalah, tapi juga dapat menggali potensi yang dimiliki coachee dan menuntun prosee belajarnya. Coaching dapat dilakukan dengan teman sejawat. Coaching berbeda dengan konseling yang hanya berkomunikasi untuk memecahkan masalah, dan berbeda juga dengan mentoring (pemberikan tips-tips berdasarkan pengalam mentor).

Empat kompetensi dasar dasar bagi seorang coach yaitu:

  1. keterampilan membangun dasar proses coaching
  2. keterampilan membangun hubungan baik
  3. keterampilan berkomunikasi
  4. keterampilan memfasilitasi pembelajaran

"Bagaimana melaksanakan Coaching Model TIRTa?"

 TIRTA kepanjangan dari

T  : Tujuan
I   : Identifikasi
R  : Rencana aksi
TA: Tanggung jawab

Dari segi bahasa, TIRTA berarti air. Air mengalir dari hulu ke hilir. Jika kita ibaratkan murid kita adalah air, maka biarlah ia merdeka, mengalir lepas hingga ke hilir potensinya. Anda, sebagai guru memiliki tugas untuk menjaga air itu tetap mengalir, tanpa sumbatan.

TIRTA dikembangkan dari satu model coaching yang dikenal sangat luas dan telah diaplikasikan, yaitu GROW model. GROW adalah kepanjangan dari Goal, Reality, Options dan Will. Pada tahapan 

1) Goal (Tujuan): coach perlu mengetahui apa tujuan yang hendak dicapai coachee dari sesi coaching ini, 

2) Reality (Hal-hal yang nyata): proses menggali semua hal yang terjadi pada diri coachee,

3) Options (Pilihan): coach membantu coachee dalam memilah dan memilih hasil pemikiran selama sesi yang nantinya akan dijadikan sebuah rancangan aksi. 

4) Will (Keinginan untuk maju): komitmen coachee dalam membuat sebuah rencana aksi dan menjalankannya.

Cara melaksanakan Coaching pada peserta didik dapat disimak pada video di link berikut ini:

https://youtu.be/5kUnboBpqL8

Mari kita bersama-sama menuntun peserta didik kita untuk mencapai kemerdekaan dalam belajar untuk generasi emas di masa mendatang.

#PGP
#programgurupenggerak
#modul2.3


Kamis, 11 Maret 2021

PEMBELAJARAN SOSIAL DAN EMOSIONAL

Beragam karakteristik, dan latar belakang peserta didk yang ada di dalam kelas merupakan hal yang harus disadari dan dipahami pendidik saat melaksanakan pembelajaran, sehingga kadang sebagai pendidik mengalami keadaan seperti pada gambar berikut ini di dalam kelas.

Gambar 1. Situasi pembelajaran di kelas


Tentunya keadaan yang demikian akan menyebabkan kita sebagai guru menjadi mudah emosi bahkan menjadi tidak fokus pada langkah-langkah pembelajaran yang akan kita lakukan atau dengan kata lain semua jadi berantakan. Sebelum guru dapat membantu murid mengembangkan aspek sosial dan emosionalnya, maka  perlu belajar memahami, mengelola, dan  menerapkan pembelajaran sosial dan emosional  dalam dirinya. Apakah penting mengembangkan aspek sosial dan emosional peserta didik?
“Mendidik pikiran tanpa mendidik hati adalah bukan pendidikan sama sekali" (Educating the mind, without educating the heart, is not education at all) by Aristoteles

Menurut Ki Hajar Dewantara,  pendidikan adalah tuntunan segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.  Aspek sosial emosional merupakan kodrat yang dimiliki oleh anak-anak sebagai manusia sehingga sangat penting untuk dikembangkan.

Gambar 2. Guru Berpikir

Nah, hal ini tentunya juga yang menjadi pertanyaan yang ada dalam benak kita. Aspek sosial dan emosional peserta didik dapat dikembangkan melalui Pembelajaran Sosial Emosional (PSE) yang dapat diberikan dalam tiga ruang lingkup yaitu:
Gambar 3. Tiga ruang lingkup pelaksanaan PSE 



Gambar 4. Penjelasan 3 ruang lingkup PSE

Pembuatan Kesepakatan Kelas untuk membangun Budaya Positif di sekolah merupakan salah satu pembelajaran sosial dan emosional ruang lingkup protokol.
"Membangun Budaya Positif merupakan salah satu Pembelajaran Sosial dan Emosional"
Implementasinya dapat mengacu pada kolaborasi akademik dan pembelajaran sosial dan emosional (Collaboratif Academic Social Emotional Learning (CASEL)). Pembelajaran Sosial dan Emosional adalah pembelajaran yang dilakukan secara kolaboratif seluruh komunitas sekolah. Proses kolaborasi ini memungkinkan anak dan orang dewasa di sekolah memperoleh dan menerapkan pengetahuan, keterampilan dan sikap positif mengenai aspek sosial dan emosional. 

"Hakikat PSE yaitu pembelajaran yang memberikan-pengalaman-pengalaman kepada peserta didik melalui interaksi dengan gurunya, teman-temannya, sekolahnya sehingga peserta didik dapat memahami dirinya sendiri dan orang lain, serta mengembangkan kompetensi personal untuk dapat sukses".


Tujuan pembelajaran sosial dan emosional yaitu: 
1) memberikan pemahaman, penghayatan dan kemampuan untuk mengelola emosi
2) menetapkan dan mencapai tujuan positif
3) merasakan dan menunjukkan empati kepada orang lain
4) membangun dan mempertahankan hubungan yang positif serta
5) membuat keputusan yang bertanggung jawab.

Guru penting memahami dan menerapkan PSE karena proses pembelajaran bersifat relational (saling terkait), dimana proses belajar akan terjadi jika adanya perhatian dan emosi menarik perhatian tersebut, sehingga anak dapat belajar jika hatinya terbuka, terhubung dengan lingkungan sekitarnya dan adanya tujuan.

Terdapat 5 Kompetensi Sosial Emosional yang dapat dilatih melalui Pembelajaran Sosial dan Emosional yaitu:

Gambar 5. 5 Kompetensi Sosial dan Emosional 


 Pembelajaran Sosial dan Emosional berbasis Kesadaran Penuh (Mindfulness)

Pembelajaran sosial dan emosional akan lebih efektif jika seseorang memiliki kesadaran penuh (mindfulness).  

Kesadaran penuh (mindfulness) adalah kesadaran yang muncul ketika seseorang memberikan perhatian secara sengaja pada kondisi saat sekarang dilandasi rasa ingin tahu dan kebaikan (The awareness that arises when we pay attention, on purpose, in the present moment, with curiosity and kindness) (Kabat - Zinn (dalam Hawkins, 2017, hal. 15))

Gambar 6. 5 kata kunci mindfulness

Gambar 7. Latihan kesadaran penuh

Cara melakukan teknik STOP dapat dipelajari pada video berikut ini: 
https://youtu.be/eCMqo5iUbIE

Teknik STOP hanya merupakan latihan awal yang seserhana yang dapat dilakukan dalam semua situasi untuk memperoleh kesaran penuh. Latihan berkesadaran penuh (mindfulness) lainnya sebenarnya sudah banyak diterapkan dalam pendidikan kita sejak lama. Misalnya, mengajak murid untuk hening dan berdoa sebelum memulai pelajaran, melakukan berbagai kegiatan literasi, mencintai alam, berolah-seni maupun berolahraga, dan lain sebagainya.



Keterkaitan Kesadaran Penuh (Mindfulness), Kompetensi Sosial, dan Well being

Gambar 8. Pembelajaran Sosial-Emosional berbasis kesadaran penuh  untuk mewujudkan kesejahteraan (well-being).  Gambar tersebut diadaptasi dari  Gambar yang dibuat K. Fort – Catanese (dalam Hawkins, 2017)

Dengan kesadaran penuh dapat lebih memahami dan menghubungkan 5 kompetensi sosial dan emosional dengani lebih baik sehingga lebih siap untuk menghadapi tantangan yang ada dengan lebih optimis.

Gambar 9. Hubungan kesadaran diri dengan empati, dan resiliensi (Hawkins, 2011)
"optimisme sebagai faktor pendukung kesuksesan dalam akademik"  (Seligman (dalam Hoy, Tarter & Hoy, 2006)) 

Well-being (kesejahteraan hidup)  adalah sebuah kondisi dimana individu memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri dan orang lain, dapat membuat keputusan dan mengatur tingkah lakunya sendiri, dapat memenuhi kebutuhan dirinya dengan menciptakan dan mengelola lingkungan dengan baik, memiliki tujuan hidup dan membuat hidup mereka lebih bermakna, serta berusaha mengeksplorasi dan mengembangkan dirinya. 

Menurut Mcgrath & Noble, 2011, murid yang memiliki tingkat well-being yang optimum memiliki kemungkinan yang lebih tinggi untuk mencapai prestasi akademik yang lebih tinggi, kesehatan fisik dan mental yang lebih baik, memiliki  ketangguhan dalam menghadapi stress dan terlibat dalam perilaku sosial yang lebih bertanggung jawab 

Demikian sekelumit pembelajaran sosial dan emosional yang dapat saya sampaikan melalui artikel ini. Mari kita bersama-sama sebagai pendidik berkolaborasi untuk melaksanakan pembelajaran sosial dan emosional ini. Hal ini tentu erat kaitannya dengan pendidikan karakter di sekolah. Mari kita mulai dari diri kita lalu kita imbaskan dan berikan motivasi untuk peserta didik dan teman sejawat serta masyarakat di sekitar kita untuk menerapkannya. Sesuai semboyan Ki Hajar Dewantara:

"Ing ngarso sing tulodo, Ing madyo mangun karso, Tut wuri handayani"

#pendidikangurupenggerak